Sunday, May 31, 2020

NASAL GEL (MUKOAHESIF)

Sediaan nasal gel In Situ

Daerah nasal dalam rongga hidung merupakan rute yang menarik untuk dijadikan sarana pengiriman obat secara sistemik. Rute pengiriman obat melalui nasal ini melibatkan pemberian obat yang diinginkan melalui lapisan nasal membran mukosa rongga hidung. Metabolisme efek lintas pertama dan degradasi obat di daerah gastrointestinal dapat dihindari melalui rute pemberian obat nasal ini. Penggunaan melalui hidung merupakan rute pemberian untuk obat dengan mula kerja obat cepat, absorpsi obat tinggi dengan berat molekul kecil, bioavailabilitas relatif tinggi, menghindari efek lintas pertama dan memudahkan untuk digunakan oleh pasien (Osth et al., 2002). Obat diserap melalui mukosa nasal terutama melalui difusi pasif ke dalam membran mukosa nasal. Setelah itu, obat tersebut diangkut melalui pembuluh darah pada hidung yang kemudian mengalir ke sirkulasi umum melalui anterior and inferior turbinate sehingga obat terbebas dari metabolisme efek lintas pertama di hati (Dhingra, 2007). Pemberian obat melaui nasal memerlukan polimer mukoadhesif yang sesuai dan ideal sehingga dapat menempel dalam jangka waktu yang signifikan.

Keuntungan sediaan nasal yaitu: (1) mudah penggunaannya hanya dengan disemprotkan tanpa melukai pasien; (2) penetrasi melalui mukosa hidung obat baik terutama hidrofobik dan berat molekul rendah; (3) absorpsi cepat dan mula kerja cepat karena luas permukaan besar serta vaskularisasi tinggi sehingga pemberian obat melalui hidung lebih efektif dalam terapi darurat misalnya: nyeri, asma, serangan jantung, kejang epilepsi, mual, muntah daripada rute pemberiaan parenteral; (4) menghindari kondisi lingkungan di saluran pencernaan (degradasi enzimatik obat-obatan); (5) menghindari efek lintas pertama di hati serta pontensi pengurangan dosis obat dibandingkan pemberian secara peroral; (6) potensi untuk pengiriman langsung dari obat ke sistem saraf pusat melalui daerah penciuman (Kisan et al., 2007).

Pada sediaan nasal gel itu sendiri harus memenuhi berbagai macam persyaratan diantaranya yaitu: (1) saat pemberian dilakukan pada pH tubuh dapat mengembang membentuk gel; (2) menempel pada membran mukosa hidung akan memberikan efek lokal dan sistemik; (3) polimer serta obat yang digunakan mempunyai waktu pelepasan yang singkat (Nandgude et al., 2008)..

Mukosa Hidung

Clearance mukosiliar adalah fungsi pertahanan non spesifik dan penghalang penyerapan obat. Lapisan mukosa mempunyai tebal 5-20 µm. Lapisan mukosa sebagian besar terdiri dari air yang mengandung glikoprotein, ion dan protein lain yang berbeda seperti enzim dan imunoglobulin. Glikoprotein menghasilkan lendir yang kental sehingga menyebabkan partikel asing menjadi terperangkap lalu dibersihkan pada saluran pencernaan dan akhirnya dieliminasi dari tubuh (Aulton, 2002).

Lamina propria terletak di bawah epitel yang merupakan tempat di mana pembuluh darah, saraf, dan sekresi kelenjar lendir ditemukan. Lamina propria juga merupakan tempat suplai darah sehingga terjadi proses penyerapan obat. Epitel rongga hidung diselimuti oleh lapisan lendir yang diperbaharui setiap 10-15 menit. Sekresi mukosa hidung mempunyai pH 5,5-6,5. Pada orang dewasa pH 5 sedangkan pada anak-anak pH 6,7 (Hehar et al., 1999).

Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 mL. Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu mukosa hidung (mukosa olfaktorius) dan sebagian besar mukosa pernafasan (mukosa respiratori). Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia (Soetjipto dan Wardani, 2007).

Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk ke dalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah kontrol saraf parasimpatis (Ballenger, 1994).

Nasal gel dibuat spray berbentuk cair tetapi berubah menjadi gel karena perubahan pH pada hidung setelah dilakukan penyemprotan. Polimer yang digunakan untuk bioadhesif sistem penghantaran obat harus mempunyai karakteristik yang ideal seperti: tidak toksik, tidak iritan, kuat sebagai adhesif, stabil dan murah. Salah satu polimer yang digunakan dalam bentuk sediaan gel untuk rute pengiriman obat melalui nasal adalah carbopol. Keuntungan Carbopol adalah peka terhadap perubahan pH, mudah membentuk gel serta mudah pelepasan obatnya (Gaikwad, 2010).


Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan obat melalui nasal ada 6 yaitu:

a. Lipofilisitas

Obat lipofilik meningkatkan permeasi di mukosa hidung. Meskipun mukosa hidung memiliki beberapa karakter hidrofilik ini merupakan penghalang dalam fungsi membran (Kisan et al., 2007).

b. Struktur kimia

Bentuk struktur kimia dari obat menjadi penting dalam menentukan penyerapan. Misalnya: konversi obat ke bentuk garam atau ester dapat mengubah penyerapan dengan mempelajari pengaruh modifikasi struktur kimia pada penyerapan obat (Kisan et al., 2007).

c. Polimorfisme

Polimorfisme diketahui mempengaruhi laju disolusi dan kelarutan obat sehingga dapat menembus membran. Oleh karena itu, disarankan untuk mempelajari polimorfik stabilitas dan kemurniaan obat untuk serbuk hidung dan suspensi (Kisan et al., 2007).

d. Berat molekul

Absorpsi nasal menurun tajam pada molekul obat dengan bobot molekul lebih dari 1000 dalton dan absorpsi nasal menurun dengan perlahan ketika bobot molekul lebih dari 400 dalton (Kisan et al., 2007).

e. Koefisien partisi dan pKa

Koefisien partisi merupakan faktor utama dalam mengatur penyerapan hidung dan didukung transportasi jalur obat hidrofilik (Kisan et al., 2007).

f. Kelarutan

Kelarutan dan tingkat disolusi merupakan faktor utama dalam penyerapan obat melalui nasal. Jika obat tidak terlarut dengan sempurna maka proses penyerapan tidak berlangsung (Kisan et al., 2007).


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Formulasi Obat Melalui Nasal

a. pH dan iritasi mukosa

Formulasi obat pada hidung dapat mempengaruhi permeasi dan mengurangi iritasi hidung sehingga harus disesuaikan dengan pH hidung yaitu 4,5-6,5 untuk mencegah pertumbuhan bakteri (Arora et al., 2002).


b. Viskositas

Formulasi dengan viskositas yang lebih tinggi dapat menaikkan waktu kontak obat dengan mukosa hidung sehingga meningkatkan waktu untuk permeasi. Pada viskositas yang kental dapat mengganggu fungsi normal dari siliari dan dengan demikian mengubah permeabilitas obat (Kisan et al., 2007).


DAFTAR PUSTAKA


Arora, P, S. Sharma, and S. Garg, 2002, Permeability Issues in Nasal Drug Delivery, Drug Discov Today, 7(18), 967-975.

Aulton, M.E, 2002, Pharmaceutics the Science of Dosage from Design, Churchill livingstone, New York, 491.

Ballenger, J. J., 1994. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher. ed. 13, Binarupa Aksara, Jakarta, 1-25.

Dhingra, P.L., 2007, Disease of Pharynx Disease of Ear, Nose and Throat, 4th ed., Elsevier, New Delhi, 223-235.

Gaikwad, V, 2010, Formulation and Evaluation of In-Situ Gel of Metoprolol Tartrate for Nasal Delivery, Journal of Pharmacy Research, 3(4), 788-93.

Hehar, S.S, J.D. Mason, and A.B. Stephen, 1999, Twenty Four Hour Ambulatory Nasal pH Monitoring, Clin Otolaryngol, 24, 24-25.

Kisan, R.J, N.G. Manoj, M.S. Ishaque, J.K. Vilarsrao, and S.P. Sambjahi, 2007, Nasal Drug Delivery System Factors Affecting and Application, Current Drug Therapy, 2, 27-38.

Nandgude, T., R. Thube, N. Jaiswal, P. Deshmukh, V. Chatap, and N. Hire, 2008, Formulation and Evaluation of pH Induced In-situ Nasal Gel of Salbutamol Sulphate, International Journal of Pharmaceutical Sciences and Nanotechnology, vol 1 (2), 177-182.

Soetjipto, D., dan R.S. Wardani, 2007, Hidung, dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher, ed. 6, FK UI, Jakarta, 118-122.

Osth, K., M. Paulsson, G. Bjork and K. Edsman, 2002, Evaluation of Drug Release from Gels on Pig Nasal Mucosa in a Horizontal using Chamber, Journal Control Relevant., 83, 377-388.

POLIMER UNTUK SISTEM BIOADHESIF

Anatomi Mucosa Oral (sebagai model mukosa)

Anatomi dan fisiologi dari mucosa mulut dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya. Hasil pengamatan menggunakan mikroskop cahaya mengungkapkan beberapa pola yang berbeda di epitel mucosa mulut manusia berdasarkan berbagai wilayah rongga mulut. Tiga lapisan khusus dari mucosa oral adalah epitel, membran basal dan jaringan ikat. Rongga mulut dibatasi dengan epitelium. Membran dasar dibantu oleh jaringan ikat (gambar 2.4.) (Johnston, Chittchang and Miller, 2005).


Epitel sebagai lapisan pelindung untuk jaringan di bawah, dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

  1. Permukaan non-kreatin pada lapisan mucosa langit-langit lunak, pemukaan ventral lidah, dasar mulut, mukosa alveolar, ruang depan, bibir dan pipi.

  2. Epitel keratin yang ditemukan di langit-langit keras dan wilayah non-fleksibel rongga mulut.

Sel-sel epitel, yang berasal dari sel basal mengubah bentuk dan bertambah besar saat bergerak ke arah permukaan.

Membran basal membentuk lapisan yang berbeda antara jaringan ikat dan epitelium, yang berfungsi sebagai penunjang mekanis untuk epitelium. Jaringan ikat yang mendasari banyak memberikan sifat mekanik mucosa oral.

Suplai darah arteri banyak pada mucosa mulut berasal dari arteri karotis eksternal. Arteri buccal, cabang terminal beberapa arteri wajah, arteri alveolar posterior dan arteri infraorbital adalah sumber utama suplai darah ke lapisan pipi dalam rongga buccal (Johnston, Chittchang and Miller, 2005).

Ada tiga jenis mucosa mulut yang dapat diidentifikasi yaitu pengunyah, lapisan, dan mucosa khusus (gambar 2.2). Mucosa pengunyah mencakup gingiva dan langit-langit keras, terdiri dari epitel keratin sangat melekat pada jaringan di bawah collagenous. Dengan demikian, penghubung jaringan ini mampu menahan kekuatan abrasi dari proses pengunyah. Lapisan mucosa mencakup semua wilayah lain kecuali permukaan dorsal lidah dan ditutupi oleh nonkeratinin karena epitelnya lebih permeabel (Kelleway, Ponchel and Duchệne, 2003). Mucosa khusus dorsum lidah adalah karakteristik dari lapisan mucosa dalam hal ini terdiri dari sebagian epitel keratin dan sebagian nonkeratinin. Epitel ini terikat pada otot lidah.


Rute Penghantaran Lewat Buccal

Mekanisme utama yang bertanggungjawab untuk penetrasi berbagai jenis bahan termasuk difusi sederhana (parasellular, transelular), difusi carrier-mediated, transpor aktif, dan pinositosis atau endositosis. Bukti terbaru menunjukkan bahwa difusi pasif adalah mekanisme utama untuk pengangkutan obat di mucosa buccal, meskipun transportasi carrier-mediated telah dilaporkan memiliki peran kecil.

Dua rute transportasi pasif tersedia di epitel bukal, satu melibatkan pengangkutan senyawa melalui ruang antarsel antara sel (paracellular), dan lainnya melibatkan bagian ke dalam dan di seluruh sel (transelular) (gambar 2.3.) Tergantung pada sifat permeabilitasnya yaitu keseluruhan molekul geometri, lipofilitas dan muatan, baik dari jalur transportasi di seluruh epitel buccal dapat dipilih.

Kebanyakan senyawa yang menyebar melalui mucosa buccal oleh difusi pasif, beberapa yang diangkut dengan proses carrier-mediated di mucosa buccal.


Bioadhesion

Pada tahun 1986, Longer dan Robinson mendefinisikan istilah bioadhesion sebagai makromolekul sintesis atau alami untuk lendir dan atau permukaan epitel (Johnston, Chittchang and Miller, 2005).

Bioadhesion adalah ikatan yang terbentuk antara dua permukaan biologis atau ikatan antara permukaan biologis dengan permukaan bahan sintesis. Pada sistem penghantaran obat, istilah bioadhesive biasanya digunakan untuk menjelaskan adhesi antara polimer, baik sintetik maupun alam, dengan jaringan lunak (misalnya mucosa saluran cerna). Meskipun target dari kebanyakan sistem penghantaran bioadhesive adalah lapisan sel dari jaringan lunak (misalnya sel epitel), ikatan adhesi dapat terbentuk dengan lapisan sel yang lain misalnya sel mucosa atau keduanya. Apabila ikatan terbentuk antara polimer dengan mukus, dapat digunakan istilah mucoadhesive (Mathiowitz, 1999).

Secara teoritis, ketika obat terperangkap dalam polimer bioadhesive dan terabsorbsi pada lapisan epitel, waktu tinggal obat pada saluran cerna menjadi lebih panjang (Wilding and Davis, 1999).


Mekanisme Bioadhesive

Mekanisme pembentukan ikatan bioadhesive tidak seluruhnya jelas. Proses yang terlibat dalam pembentukan ikatan bioadhesive terdiri dari tiga tahap yaitu:

  1. Pembasahan dan pengembangan polimer yang menyebabkan polimer dapat melekat pada jaringan biologis.

  2. Penetrasi dari rantai polimer bioadhesive dan jeratan polimer dan rantai musin.

  3. Terbentuknya ikatan kimia yang lemah.

Cara mendapatkan sifat adhesif yang dibutuhkan, polimer sedikitnya memiliki paling tidak satu dari karakteristik berikut ini : memiliki dalam jumlah yang cukup gugus yang dapat menimbulkan ikatan hidrogen (-OH, -COOH), muatan permukaan anionik, bobot molekul tinggi, fleksibilitas rantai tinggi, tegangan permukaan yang dapat menginduksi penyebaran pada lapisan mucosa.

Karakteristik tersebut menentukan pembentukan ikatan yaitu ikatan kimia dan ikatan mekanis.

  1. Ikatan kimia

Ikatan kimia adalah ikatan primer yang kuat (misalnya ikatan kovalen) dan ikatan sekunder yang lemah seperti ikatan ionik dan ikatan van der walls. Kedua jenis ikatan ini dapat terbentuk pada pengembangan sistem penghantaran obat (Mathiowitz, 1999).

  1. Ikatan mekanis

Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan ikatan adalah adanya air, waktu kontak antara material, panjang dan fleksibilitas dari rantai polimer (Mathiowitz, 1999).


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mucoadhesive dalam Ronggga Mulut

Karakteristik dari mucoadhesive adalah faktor dari kedua polimer bioadhesive dan media dimana polimer akan berada. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat polimer mucoadhesive seperti berat molekul, fleksibilitas, kapasitas ikatan hidrogen, densitas cross-linking, muatan, konsentrasi, hidrasi (swelling) dari polimer.]


Faktor-faktor yang Terkait dengan Polimer

  1. Berat molekul

Secara umum, telah ditunjukkan bahwa kekuatan polimer bioadhesive meningkat dengan berat molekul di atas 100.000 (Johnston, Chittchang and Miller, 2005). Tiwari et al., (1999), menunjukkan hubungan langsung antara kekuatan polimer bioadhesive yaitu polioksietilena dan berat molekul berkisar 200.000 sampai 7.000.000.

  1. Fleksibilitas

Bioadhesion dimulai dengan difusi rantai polimer di wilayah antarmuka. Oleh karena itu, bahwa rantai polimer penting mengandung substasi derajat fleksibilitas agar mencapai keterikatan yang diinginkan dengan lendir.

Secara umum, mobilitas dan fleksibilitas polimer dapat berkaitan dengan viskositas dan koefisien difusi, dimana fleksibilitas yang lebih tinggi dari polimer menyebabkan difusi lebih besar ke jaringan lendir (Johnston, Chittchang and Miller, 2005).

  1. Kapasitas ikatan hidrogen

Ikatan hidrogen merupakan faktor penting dalam polimer mucoadhesive. Johnston, Chittchang and Miller (2005) menemukan bahwa untuk polimer mucoadhesive yang diinginkan harus memiliki kelompok fungsional yang mampu membentuk ikatan hidrogen dan fleksibilitas polimer penting untuk meningkatkan potensi ikatan hidrogen.

  1. Densitas cross-linked

Ukuran pori rata-rata, jumlah berat molekul rata-rata dari polimer cross-linked dan densitas cross-linked menghubungkan tiga parameter struktural penting dan saling terkait dari jaringan polimer. Oleh karena itu, dengan meningkatnya densitas cross-linking, difusi air ke dalam jaringan polimer terjadi pada tingkat lebih rendah yang dapat menyebabkan cukup mengembangkan polimer dan tingkat penurunan interpenetrasi antara polimer dan musin (Johnston, Chittchang and Miller, 2005).

  1. Muatan

Beberapa generalisasi tentang polimer bioadhesive telah dilakukan sebelumnya, di mana polimer nonionik muncul untuk tingkat yang lebih kecil dari adhesi dibandingkan dengan polimer anionik. Peppas dan Buri (1985) telah menunjukkan bahwa salah satu karakteristik yang dibutuhkan untuk mucoadhesive adalah muatan kationik kuat pada polimer. Telah ditunjukkan bahwa beberapa polimer kationik cenderung menunjukkan sifat mucoadhesive unggul, terutama dalam media netral atau sedikit basa (Johnston, Chittchang and Miller, 2005).

  1. Konsentrasi

Konsentrasi merupakan faktor terpenting yang terletak pada pengembangan ikatan untuk penetrasi ke dalam lapisan lendir. Ketika konsentrasi polimer terlalu rendah, jumlah untuk menembus rantai polimer per satuan volume lendir kecil, dan interaksi antara polimer dan lendir tidak stabil (Johnston, Chittchang and Miller, 2005). Secara umum, polimer yang lebih terkonsentrasi akan menghasilkan penetrasi rantai panjang yang lebih lama dan adhesif yang lebih baik, namun bagi masing-masing polimer ada konsentrasi kritis, akibatnya aksesibilitas dari pelarut polimer berkurang, dan penetrasi rantai polimer secara drastis berkurang. Oleh karena itu, konsentrasi yang lebih tinggi dari polimer tidak selalu meningkat dan sebenarnya mengurangi sifat mucoadhesive.

  1. Hidrasi (swelling)

Hidrasi diperlukan untuk polimer mucoadhesive untuk memperluas molekul, ukuran yang cukup, dan juga untuk mendorong mobilitas dalam rantai polimer untuk meningkatkan proses interpenetrasi antara polimer dan musin. Pembengkakan polimer memungkinkan belitan mekanik dengan mengekspos sisi bioadhesive untuk ikatan hidrogen dan interaksi elektrostatik antara polimer dan jaringan mucosa (Johnston, Chittchang and Miller, 2005).

Faktor Lingkungan

Polimer mucoadhesive tidak hanya tergantung pada sifat molekul, tetapi juga pada faktor lingkungan yang berdekatan dengan polimer. Air liur, sebagai media disolusi yang mempengaruhi polimer. Tergantung pada kedua tingkat aliran air liur dan metode penentuan, pH medium ini telah diperkirakan antara 6,5 dan 7,5 (Johnston, Chittchang and Miller, 2005). pH lingkungan mikro sekitar polimer mucoadhesive dapat mengubah ionisasi.

Gerakan jaringan buccal saat makan, minum, dan berbicara, merupakan perhatian lain yang harus dipertimbangkan ketika merancang suatu bentuk sediaan untuk rongga mulut. Oleh karena itu, rentang waktu yang optimal untuk pemberian bentuk sediaan diperlukan untuk menghindari berbagai faktor (Johnston, Chittchang and Miller, 2005).


Polimer Mucoadhesive yang Digunakan dalam Rongga Mulut

Secara umum, beberapa karakteristik struktural yang diperlukan untuk polimer bioadhesive termasuk kelompok ikatan hidrogen yang kuat, muatan anionik atau kationik kuat, berat molekul tinggi, fleksibilitas rantai dan sifat permukaan energi mendukung penyebaran pada lapisan lendir (Johnston, Chittchang and Miller, 2005).

Klasifikasi polimer dapat digolongkan sebagai sintetik dan alam, larut air dan tidak larut air, dan polimer tidak bermuatan dengan polimer bermuatan. Makromolekul bioadhesive alam bersifat mirip dengan struktural polimer sintetik. Polimer-polimer ini pada umumnya polimer linier dengan berat molekul tinggi, mengandung sejumlah kelompok fungsional hidrofilik, bermuatan negatif, dan bentuk jaringan diperluas tiga dimensi (Johnston, Chittchang and Miller, 2005). Shojaei (1998) mengatakan bahwa dari berbagai jenis polimer bioadhesive digunakan dalam pengiriman berbagai obat lewat buccal (Johnston, Chittchang and Miller, 2005).


DAFTAR PUSTAKA


Jasti, R. B., V. Marasanapall, X. Li, 2005, Modulation of Oral Transmucosal Permeability: Permeation Enhancers, in : Drug Delivery to the Oral Cavity : Molecules to Market, Pfister. W. R., Ghosh. T. K., (eds.), CRC Pres., New York, 68-86 ; 73.

Johnston, T. P., M. Chittchang, N. S. Miller, 2005, The Use of Mucoadhesive Polymers in Buccal Drug Delivery, Advanced Drug Delivery Reviews, USA, 57, 1666-1691.

Kellaway, I. W., G. Ponchel, Duchệne, 2003, Oral Mucosal Drug delivery, in : Modified Release Drug Delivery Technology, Rathbone. M. J., Hadgraft. J. H., Roberts M. S., (eds.), Marcel Dekker, New York, 349-351.

Mathiowitz, E., 1999, Encyclopedia of Controlled Drug Delivery, John Wiley and Sons, Inc., New York, 9-20.

Peppas, N, A., P.A. Buri, 1985, Surface, Interfacial and Molecular Aspects of Polymer Bioadhesion on Soft Tissues, J. Control, Release 2, 257–275.

Shojaei, A. H., 1998, Buccal Mucosa as a Route for Systemic Drug Delivery, a Review Journal Pharmaceutical, Journal Pharmaceutical Science, 1, 15-30.

Tiwari, D., D. Goldman, R. Sause, P. L. Madan, 1999, Evaluation of Polyoxyethylene Homopolymers for Buccal Bioadhesive Drug Delivery Device Formulations, AAPS Pharmaceutical Science, 1, E 13.

Willding, I. R., S. S. Davis, 1999, Targeting of Drug to the Gut in Swarbrick J (ed.)., Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, 18, Marcell Dekker, New York, 297-299.


Saturday, May 30, 2020

EFEK INSULIN PADA KADAR GULA DARAH

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

  1. Tujuan Praktikum

  • Memahami efek insulin pada kadar gula darah

  • Mengenal metode uji antidiabetik dengan uji toleransi glukosa (GTT)


  1. Dasar Teori

Pankreas adalah suatu kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon peptida insulin, glucagon, dan somastotatin dan suatu kelenjar eksokrin yang menghasilkan enzim pencernaan. Hormon peptida disekresikan dari sel-sel yang berlokasi dalam pulau langerhans (β atausel-B yang menghasilkan insulin, α2atausel-A yang menghasilkan glucagon, dan α1atausel-D yang menghasilkansomastotatin).Hormon-hormon ini memegang peranan penting dalam pengaturan aktivitas metabolic tubuh, dan dengan demikian membantu memelihara homeostatis glukosa darah (Mycekdkk, 2001).

Diabetes merupakan penyakit tunggal. Diabetes merupakan suatu grup sindrom heterogen yang semua gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. Diabetes dapat dibagi menjadi dua grup berdasarkan kebutuhan atas insulin: diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM atauTipe I) dan diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM atauTipe II) (Mycekdkk, 2001).

Insulin merupakan protein kecil yang mengandung dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfide. Disintesis sebagai protein precursor (pro-insulin) yang mengalami pemisahan proteolitik untuk membentuk insulin dan peptide C, keduanya disekresi oleh sel β pancreas. Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh kadar glukosa darah tetapi juga oleh hormon lain dan mediator autonomic. Sekresi insulin umumnya dipacu oleh ambilan glukosa darah yang tinggi dan difosforilasi dalam sel β pancreas. Insulin diisolasi dari pancreas sapid anbabi. Namun, insulin manusia diproduksi oleh strain khusus Eschericia coli yang telah diubah secara genetic, mengandung gen untuk insulin manusia. Insulin babi paling mendekatistruktur insulin manusia, yang dibedakan hanya oleh satu asam amino (Mycekdkk, 2001).

Karena insulin adalah protein, didegradasi pada saluran cerna jika diberikan per-oral. Karena itu pada umumnya diberikan secara suntikan subkutan. Insulin diinaktivasi dengan jalan mengurangi enzim, insulinase yang terutama berdasarkan mula kerja dan masa kerjanya. Dosis, tempat suntikkan, persediaan darah, suhu, dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi masa kerja berbagai preparat. Insulin manusia diabsorbsi lebih cepat dari tempat suntikkan daripada hormone sapiatau babi. Jadi, masa kerja insulin manusia lebih singkat dan dosis harus disesuaikan (Mycekdkk, 2001).

Gejala hipoglikemia merupakan reaksi samping yang paling serius dan umum dari kelebihan dosis insulin. Diabetes jangka lama sering tidak memproduksi sejumlah hormon yang menghalangi pengaturan insulin (glucagon, epinefrin, kortisol, dan hormone pertumbuhan) yang secara normal memberikan pertahanan efektif terhadap hipoglikemia (Mycekdkk, 2001). Penetapan kadar gula darah dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu cara ialah dengan metode enzimatik glukosa PAP (Roche) (Kresnamurti, 2013).

  1. Bahan dan Alat :

  • Metode Pengukuran Kadar Glukosa Darah dengan Spektrofotometri

Hewan coba: tikus jantan

Alat : Spektronik 20 D, stopwatch, Reagensia Glukosa PAP (Roche), alat suntik, mikropipet, pipet volum.

Bahan dan Rute pemberian: insulin 0,05 IU/200 gbb (s.c)

Insulin 0,10 IU/200 gbb (s.c)

Insulin 0,15 IU/200 gbb (s.c)

Glukosa 1 g/200 gbb (larutan 65%) per oral

Insulin yang tersedia: 40 IU


  • Metode Pengukuran Kadar Glukosa dengan Advantage Meter (metode refractometer)

Hewan coba: tikus jantan

Alat : stopwatch, advantage meter-strip test, silet, alat suntik, restrainer

Bahan dan Rute pemberian: insulin 0,05 IU/200 gbb (s.c)

Insulin 0,10 IU/200 gbb (s.c)

Insulin 0,15 IU/200 gbb (s.c)

Glukosa 1 g/200 gbb (larutan 65%) per oral

Insulin yang tersedia: 40 IU


Perhitungan Dosis:

Berat badan tikus: 160 gram

Insulin : insulin 0,05 IU

Cara perhitungan :

1 gram – 200 gbb

X − 160 gbb

X = (160 gbb:200gbb) x 1gram = 0,8 gram

Konsentrasi 65% = 65 gram – 100 ml

0,8 gram – y

y =( 0,8 gram:65 gram) x 100 ml = 1,23 ml glukosa oral


  1. Skema Kerja Praktikum

  1. Gunakan tikus yang telah dipuasakan 18 jam sebelum percobaan

  2. Masukkan mencit ke dalam restrainer, bersihkan dan dilatasi pembuluh darah vena di ekor dengan kapas ber-alkohol

  3. Potong ujung ekor tikus setipis mungkin dan biarkan darah keluar, teteskan pada strip test, sehingga didapatkan kadar glukosa darah tikus sebelum perlakuan (TO)

  4. Berikan glukosa secara per oral

  5. Biarkan selama 15 menit, ukur kembali kadar glukosa darah tikus seperti perlakuan no.3 (T15)

  6. Suntikkan insulin secara sub cutan pada daerah tengkuk tikus

  7. Ukur kadar gula darah tikus pada menit ke 15, 30, 45 menit setelah penyuntikan insulin (T30, T45, T60)

  8. Buatlah grafik: KGD vs waktu

  1. Pembahasan

Diabetes merupakan suatu grup sindrom heterogen yang semua gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relative atau absolut. Pada praktikum kali ini dilakukan uji gula darah pada tikus, sebelumnya tikus dipuasakan selama 18 jam dan uji kadar gula darah dilakukan dengan menggunakan alat gluko-meter. Pertama-tama diukur kadar gula darah awal tikus, setelah kadar gula darah awal tikus diketahui kemudian diinduksi dengan glukosa oral dan dibiarkan selama 15 menit kemudian diukur gula darah setelah pemberian glukosa yaitu pada T=0. Setelah terjadi kenaikan gula darah maka disuntikkan insulin 0.05 IU dan dibiarkan 30 menit dan dilakukan pengukuran lagi hingga menit ke-60.

Setelah disuntikkan insulin secara subkutan, terjadi penurunan gula darah. Hal ini menunjukkan bahwa insulin merupakan anti diabetika. Insulin merupakan sebuah hormone polipeptida yang mengatur metabolism karbohidrat. Selain merupakan efek terutama dalam homeostasis karbohidrat, hormone ini juga ambil bagian dalam metabolism lemak (trigliserida) dan protein. Hormone ini bersifat anabolic yang artinya meningkatkan penggunaan protein. Hormone tersebut juga memengaruhi jaringan tubuh lainnya. Insulin menyebabkan sel (biologi) pada otot dan adiposit menyerap glukosa dari sirkulasi darah melalui transporter glukosa GLUT1 dan GLUT4 dan menyimpannya sebagai glikogen di dalam hati dan otot sebagai sumber energi. Insulin digunakan dalam pengobatan beberapa jenis diabetes mellitus. Pasien dengan DM tipe 1 bergantung pada insulin eksogen (disuntikkan di bawahkulit/subkutan) untuk keselamatannya karena kekurangan absolut hormone tersebut. Pasien dengan DM tipe 2 memiliki tingkat produksi insulin rendah atau kebal insulin dan kadangkala membutuhkan pengaturan insulin bila pengobatan lain tidak cukup untuk mengatur kadar glukosa darah.


  1. Daftar Pustaka

http://acta.fa.itb.ac.id/pdf_dir/issue_29_2_5.pdf

ejournal.unri.ac.id/index.php/JN/article/download/94/88

Kresnamurti, A., 2013, PetunjukPraktikumFarmakologi-Toksikologi, UNIKA Widya Mandala Surabaya


Mycek, Mary J., 2001, Faramakologi: UlasanBergambar, Jakarta: EGC BukuKedokteran